Guru Menjala Hati


RESENSI BUKU
Masih segar dalam ingatanku, enam tahun lalu aku sempat sangat marah kepada seorang murid kelas VII yang berlari-lari mendatangiku, “Mam, lihat tuh, si Anna! Hari gini mau jadi guru...” katanya sambil senyum-senyum.
Alih-alih tersenyum, aku melotot dan menghentikan pekerjaanku menilai. Benar-benar aku sangat marah ketika kutatap seluruh isi kelas sambil berkata.
“Kalian..., tidak mu jadi guru? Bahkan menertawakan teman yangmau jadi guru?”
Mereka diam. Dan tiu tidak menghentikan aku melanjutkan berkhotbah.
“Kalian tahu, aku akan semakin tua dan mati. Dan kalau tidak ada yang mau jadi guru, siapa yang akan mendidik anak-anak kalian? Apakah memalukan menjadi guru? Apakah menjadi guru tidak berharga? Saya guru, suami saya guru. Kami hidupi keluarga kami dengan menjadi guru. Memang, anak-anak kami tidak  hidup berkelimpahan. Namun, hampir semua kebutuhan mereka tercukupi.”
Penulis sadar, menjadi guru bukanlah pilihan yang populer. Namun, jauh sebelum isu sertifikasi, penulis sudah mendedikasikan hidupnya, dengan segenap hati, sebagai guru. Mengapa?
Penulis tidak tahu persis jawabannya, namun yang diyakininya, ada suatu getaran rasa di dalam diri ini, bahwa menjadi guru adalah panggilan mulia dari Tuhan sendiri.  Menjadi guru adalah cara  yang mulia untuk merealisasikan iman dan mengabdikan hidup  bagi masa depan yang lebih baik, terutama bagi anak-anak bangsa ini. Ya, bagi anak-anak kita sendiri. 
Itu salah satu secuil kisah buku bertitel Teaching As Journeying, Mengayun Kaki Menjala Hati, buah karya Yulia Sri Prihartini, penerbit Kanisius Yogyakarta.  Kala itu, guru memang menjadi profesi ke sekekian, menjadi pilihan alternatif (bahkan ada yang pilihan ke dua, ketiga) bagi mahasiswa baru.  Wajar saja, jika Yulia Sri Prihartini, penulis buku ini, menyuarakan hati bahwa kala itu guru bukan pilihan yang utama.
Salah satu tugas utama guru adalah menjala hati murid-muridnya untuk menghayati dan memperjuangkan nilai-nilai keutamaan hidup mereka memiliki kelimpahan berkah dan meraih kebahagiaan.  Penulis marah kepada murid bukan karena membencinya, bukan pula karena membela profesi guru. Bukan.
Bagi Yulia, ia ingin mereka ikut menyadari betapa dirinya sebagai guru sangat mencintai pribadi mereka dan  masa depan mereka. Yulia ingin agar mereka tahu bahwa  dirinya tidak ingin melihat mereka, sebagai pribadi, menjadi kerdil dan tak berkembang. Ia ingin menjala hati anak-anak itu  agar dapat diarahkan kepada tujuan yang benar. Yulia juga ingin menghargai pengorbanan dan jerih payah para guru yang mendedikasikan hidupnya demi pertumbuhan kepribadian mereka.
Lalu, apa yang dimaksud dengan menjala hati murid? Menjala hati murid dengan cara melakukan banyak strategi untuk dapat membawa anak-anak ke dalam situasi belajar yang di dalamnya anak merasa senang belajar. Mengajak mereka dapat masuk kedalam mereka  melalui proses refleksi atas nilai-nilai keutamaan hidup.
Sebab, pada dasarnya apa yang diajarkan guru kepada para murid adalah diri kita sendiri dan nilai-nilai hayati. Seperti dikatakan Parker J Palmer, We teach who we are and we teach from within: kita mengajarkan tentang diri kita  sendiri dan sebenarnya kita mengajar dari kedalaman diri kita.
Saat ini, penulis merupakan pengawas Sekolah Menengah Dinas Pendidikan di Yogyakarta. Meraih gelar Master Humaniora dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tahun 2008 mengikuti training di korea Selatan, ia aktif memberikan seminar dan pelatihan di berbagai sekolah di wilayah Indonesia. Sebelumnya, ia juga menulis buku Sang Guru Sang Peziarah (2008).
Teaching As Journeying, berisi kisah pelayanan yang dilakukannya sebagai pengawas dinas, sekaligus ingin mengajak para guru dan kepala sekolah untuk menembangkan profesionalitas mereka sehingga tugasnya dapat dikerjakan secara efektif. Baik guru, kepala sekolah, maupun pengawas sebenarnya sama-sama menjalankan tugasnya sebagai sebuah  peziarahan hidup, mengayunkan kaki untuk menjala hati para murid.
Guru yang baik haruslah berusaha selalu bersikap reflektif. Sebab, tugas guru bukan hanya mengajar. Tugas guru yang lebih utama dan lebih penting adalah menanamkan nilai-nilai. Guru harus dengan penuh kesadaran menyediakan waktu untuk mengajarkan tentang komitmen murid terhadap diri dan kehidupannya pada masa depan. Murid bersama guru belajar menghayati nilai-nilai keutamaan hidup. Pembiasaan melatihkan nilai-nilai keutamaan ini adalah syarat dasar dan utama bagi pembentukan karakter  diri seorang pribadi manusia.
Banyak kisah menarik goresan Yulia, termasuk dirinya yang jadi pengawas tanpa melewati jabatan sebagai kepala sekolah. Artinya, ia bertugas sebagai guru di SMP negeri, lalu dinyatakan lulus tes dan ujian menjadi pengawas di jajaran Dinas Pendidikan kabupaten.  Ada yang bertanya, “Mengapa mau jadi pengawas? Padahal Bu Yulia itu mengajarnya bagus.”
Pengalamannya sebagai pengawas, salah satunya, perasaan hati guru ketika pengawas datang. Dari beberapa kali kunjungan kepengawasan, ia melihat bahwa sebagian besar guru merasa tidak nyaman. Apalagi jika sedang ditunggui saat mengajar, seperti ada beban berat di atas pundak mereka.  Yulia ingin mengubah, bahwa kedatangan pengawas merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu sekolah.
Buku ini dibagi dalam empat bagian, pertama tentang Mengubah Paradigma, kedua soal Menemani Perjalanan, ketiga tentang Manajemen Diri, dan keempat bertema Mengukir Citra. Buku ini sangat cocok untuk guru, kepala sekolah, pengawas, dan orangtua siswa, untuk mengobarkan api pelayanan suci di bidang pendidikan.
COSMAS 

Teaching As Journeying
Penulis: Yulia Sri Prihartini
Editor: A Mintaro Sufiyanto SJ
Penerbit: Kanisius, 2013
Tebal: 128 hal


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nining Mariyaningsih SPd MPd: Pembelajaran Inovatif Si “Apem Manis”

SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah: Merenda Kreativitas, Menenun Harapan

Endang Rahayu MH SPd MPd, Putri Gunung Merapi Pengoleksi Prestasi