Meneropong Orang Jawa


Dadya kanthining kinayun,
Piwulang winihing winilang winih,
Winidya darma budaya,
Budi galang ginelung sri,
Rumuhun anggontha wisma,
Kadwinya wanita pesthi,
(Sesanti puji, dalam serat iber-iber, dalam metrum Kinanthi, Sri Mangkunegoro IV)

Maka hendaknya dikau ingat, anakku
Bahwa sebagai suatu kelumrahan,
Hidup ini memerlukan laku untuk mencapai gegayuhan alias cita-cita nan luhur
Cita-cita itu bertolak pada keinginan untuk meraih bentuk sempurnanya kehidupan, sebagaimana didambakan setiap bangsa di dunia ini .
Maka dalam ajaran ini, pertama-tama hendaklah kita memiliki sebauh rumah (wisma).

Widya Darma Budaya yang tercermin pada gegayuhan hayati: wisma, wanita, curiga, turangga, kukila, sesungguhnya adalah  paparan dari cita-cita manusia nusantara pada abad-abad yang lampau, untuk mencapai martabat yang ideal.
Sesungguhnya, bukan hanya masyarakat  Jawa saja yang merangkum gagasan demikian, melainkan juga suku bangsa suku bangsa lain, yang senafas-seirama dalam proses alamiah dan sosialnya, menuju kesempurnaan sebaik-baiknya.
Risalah kecil ini menguraikan  secara bersahaja beberapa tata  nilai dan sumber kekuatan moral yang menjadi acuan zaman yang dinamis, dan dengan sendirinya dapat dilestarikan secara terhormat.  Dengan kata lain, pergelaran tema dan pemikiran masyarakat Jawa yang kita paparkan. Hendaknya ini dilihat  sebagai sebuah tekad juang untuk mengabadikan aset keadiluhungan dari dunia tradisi Jawa (Jawa Ancienta, Jawa masa silam) agar memperoleh derajat pengukuhan sebagai sikap Indonesia Fortuna (Indonesia masa depan).
Suryanto dalam pengantarnya, menyatakan seorang ksatria Jawa, seorang tokoh kehidupan yang berjuang, adalah hakikatnya seorang yang aktif. Dengan demikian, di dalam Citra Diri Orang Jawa (konsep salah satu perjuangan ksatria utama) ini mencerminkan suatu kebahagiaan.
Analisa yang saya tulis ini, kata Suryanto, hanyalah sebagai gambaran pribadi general, yang dipaparkan secara lugas dan telanjang. Bahwasannya melalui kegiatan sehari-hari, ia mewakili pelbagai citra kesempurnaan hayati, yang dilacak dari sumber perpustakaan. Citra demikian bisa ditengok lewat simbol: wisma (rumah), wanita (perempuan), curiga (senjata pamungkas), kukila (burung kesayangan), turangga (kuda tunggang) dan itulah keutuhan tata nilai nan terangkum.
Penulis cukup sadar, ada lambang-lambang lain yang setara, sebanding dengan apa yang terungkap tadi, yang belum sempat ditoreh dari perbendaharaan karya sastra klasik Jawa. Semoga dari sumber karya yang lain itu nanti, penulis dapat membeberkannya pula.
Dalam kata pendahuluan berjudul Wahana Pengenalan Budaya di Tengah Arus Informasi Modern: Seringkali kita bertanya dalam hati: jagat kita dari hari-ke hari semakin sempit, karena alat-alat transportasi yang tak bisa ditekan lagi, pertumbuhannya (menuju teknologi lebih dan paling canggih) dan membuat semakin kuatnya  sosok peradaban yang bercokol di satu kawasan.
Apabila peradaban  menjadi jembatan kuat yang menghubungkan dua kutub: pemilik dan pewaris tata nilai leluhur agung, dan satunya lagi adalah penerima dan penghayat bentuk-bentuk laku kehidupan yang dianggap mapan, maka masyarakat akan selangkah lagi menuju gerbang kemuliaan. Karena hal itu berarti  bahwa kebudayaan  sebagai suatu realitas sosial memperoleh dukungan kuat, dan dipandang sebagai wakil dari puncak keindahan yang bisa mengangkat martabat kelompok-kelompok lain.
Penulis melihat, bahwa potensi masyarakat kita tidak terbatas memelihara atau mengasetkan warisan kultural. Lebih daripada itu, khalayak di nusantara ini mempunyai kecenderungan pula  untuk mengaktivir tata nilai yang terkandung dalam falsafah itu kepada langkah laku yang konkret.
Kerangka dasar kejawen yang menekankan fungsionalitas kesujudan, ritus panembah, maneges ing Hyang  dan sumungkem ing Gusti perlu diakui sebagai faktor penggerak  dari studi-studi  kebudayaan dalam arti luas.
Kepercayaan terhadap kebesaran dan keesaan Tuhan amatlah berakar dalam "rasa-budaya" Jawa , sehingga manakala kita meneliti konsepsi wahyu, cakra manggilingan ( tumimbal lahir) dan sebagainya, maka terasa, bahwa kita berhadapan  dengan sekian banyak misteri yang mendarat dalam benak, dan menyusulkan wedaran-nya (ekspresinya).
Para sujana, nenek moyang kita, secara brilian menunjukkan proses penyatuan manusia dengan sang alam, kawasan selingkungan. Manusia merupakan  bagian kecil dari potensi hayati kesemestaan-Nya.
Pola dasar  unit terkecil (pekarangan) memperlihatkan hubungan harmonis terhadap jagat sekeliling, melalui penataan-penataan:
Pasujudan atau kabuyutan, yang dalam istilah khas disebut pasucen atau panepen, yang terdapat pada bagian terpenting kota itu.
Patirtan, tempat-tempat yang dikenal sebagai sumber air, dan sekitar itu mampu melestarikan debit air tanah, bahkan mampu menaikkan muka air tanah.
Pedaleman, dalem, rumah kediaman sang pemimpin, yang menentukan kebijaksanaan terhadap kawasan dan para penghuni (padunung).
Padaringan, tempat bahan makanan pokok yang masih mentah, ibarat Bulog yang menjadi tandon kebutuhan bagi masyarakat.
Pakandhangan, tempat hewan ternak yang terpisah dari padaleman (dalem),
Pawon, dapur, yang terpisah dari dalem, guna mencegah polusi yang berupa asap sewaktu memasak makanan.
Pawuhan, tempat sampah, yang kira-kira jauhnya dua belas pecak (lk. 10 m) dari dalem.
Pakiwan, jamban, yang terletak jauh di belakang pada arah kiri dari dalem utama itu.
Buku ini terbagi dalam 7 bab, pertama tentang wewengkon dan padunung, sebuah dwitunggal. Bab II soal Wisma, teduhnya sukma bertabur rindu, bab 3 tentang wanita pendamping dalam segala cuaca, bab 4 curiga, pembawa kebahagia kehidupan, bab 5 sang turangga, jalan menuju hari esok gemilang, bab 6 kukila, yang mengepakkan sayap seraya tersenyum ria, dan bab terakhir wasana kata, wasiat pemandu rakhmat.
COSMAS

Citra Diri Orang Jawa
Oleh: Suryanto Sastroatmodjo
Penerbit: Narasi Yogyakarta
Tebal:136 hal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nining Mariyaningsih SPd MPd: Pembelajaran Inovatif Si “Apem Manis”

SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah: Merenda Kreativitas, Menenun Harapan

Endang Rahayu MH SPd MPd, Putri Gunung Merapi Pengoleksi Prestasi